Mencoba bangun beranjak
Tapi kembali terinjak-injak
Aku berasal dari kaum minoritas
Penuh pengharapan dan ironi
Aku hanya ingin memaparkan lakon kritis
Layaknya negara yang mendiktatorkan asas demokratis
Keadilan, perikemanusiaan
Nyatanya...
Hanya kumpulan kata yang kopong
Pikirlah
Masih banyak tikus bedebah
Keledai yang malang
di tanah yang terbilang kaya ini
Betapa memuakkannya
Lebih baik membuat negara sendiri
Negara yang penuh empati
Berprinsip kuat dan percaya diri
Ya, negara dalam hati.
Tulisan ini ditujukan kepada kaum bawahan dan minoritas yang hak dan aksinya dibatasi.
Jangan cemas, kamu nggak sendiri.
07/03/14
03/03/14
Bagai garis-garis yang terbengkalai
Terpecah-belah tak karuan
Kemilau cahaya putih
Selalu indah
Seketika tertusuk paku-paku hitam
Mereka...
Bayi yang melupakan ibunya
Sang pintar yang lupa akan gurunya
Insan yang tak patuh pada Tuhan-nya!
Ya, bagaimana bisa?
Darimana datangnya
Bisikan-bisikan yang meracuni
Hati sanubari ciptaan-Nya ini
Hingga meraup selebih-lebihnya
Materi duniawi
Tapi satu waktu juga
Meremukkan harapan hati-hati suci
Saat sekarang ini, atau nanti
Ingatlah segala ini-itu
Semua-muanya milik kamu
Titipan, pemberian Tuhan-mu
Hingga kau tak lagi menginjak bumi
Terpecah-belah tak karuan
Kemilau cahaya putih
Selalu indah
Seketika tertusuk paku-paku hitam
Mereka...
Bayi yang melupakan ibunya
Sang pintar yang lupa akan gurunya
Insan yang tak patuh pada Tuhan-nya!
Ya, bagaimana bisa?
Darimana datangnya
Bisikan-bisikan yang meracuni
Hati sanubari ciptaan-Nya ini
Hingga meraup selebih-lebihnya
Materi duniawi
Tapi satu waktu juga
Meremukkan harapan hati-hati suci
Saat sekarang ini, atau nanti
Ingatlah segala ini-itu
Semua-muanya milik kamu
Titipan, pemberian Tuhan-mu
Hingga kau tak lagi menginjak bumi
28/02/14
Setengah sebelas malam, kereta yang kunaiki masih belum tiba
di tujuan. Yang bisa kulakukan selama di kereta hanya membaca, mendengarkan musik,
dan berdiri sejenak dari kursi yang kududuki karena terasa pegal lalu tak lama
kemudian duduk lagi. Buku yang kubaca bercerita tentang dunia politik yang dijadikan
bahan humor tapi tetap bernilai intrinsik, yang ditulis oleh salah satu seniman
ternama dalam negeri.
Kereta yang menurut jadwal harusnya tiba jam sebelas malam,
terlambat satu jam. Aku, bersama temanku yang juga satu kereta denganku
menyegat taksi untuk menuju ke kost masing-masing. Ya, kami kuliah di luar
kota, di salah satu kota di tengah-tengah Jawa. Kami satu universitas, berbeda
fakultasnya. Kami sama-sama meneliti kesehatan, temanku berada di dunia
kesehatan manusia, sedangkan diriku menelaah kesehatan keuangan.
Sesampainya di kost, aku melihat sekeliling, meraba meja dan
rak yang ternyata sedikit berdebu. Tanpa menunda lagi, kuletakkan tasku dan
langsung membersihkan kamar. Aku tak bisa memaksakan rasa nyaman. Jika kamar
kotor, maka aku tak bisa langsung tidur, sekalipun aku berada dalam kondisi
klimaks mengantuk.
Setelah membersihkan kamar, aku sholat lalu duduk terdiam.
Aku teringat oleh aransemen musik yang sudah kubuat untuk pertunjukan beberapa
hari yang akan datang bersama teman-teman teater. Aku mengaransemen musik menggunakan
imajinasi dan naluri, tanpa memegang satu alat musik pun. Hal seperti itu biasa
kulakukan di setiap kegiatan yang aku lakukan. Membaca, mandi, melamun,
mengobrol dengan orang lain, bahkan saat aku mengikuti kuliah di dalam kelas.
Hmm… satu lagi, temanku memiliki dan dimiliki, sedangkan aku
hanya sedang tidak memiliki. Perasaan suka itu ada, tapi belum berhasrat saja,
belum ingin. Aku hanya sedang ingin perbanyak bergaul agar punya banyak
koneksi. Siapapun pasti suka punya banyak teman. Kata ‘single’, ‘sendiri’, ‘jomblo’
selalu dijadikan ejekan bagi orang sepertiku. Aku tak heran, memang
kenyataannya begitu, jadi aku menganggap orang itu menyatakan, mengungkapkan
kenyataan, bukan mengejek.
“Nggak nyari cewe?”
“Sendirian aja?”
“Kemana-mana sendiri, nggak bosan?”
Pertanyaan yang kadang-kadang terlontar
ke arahku. Biasa hanya kujawab seadanya, atau hanya kubalas dengan senyum geli.
MEMBUJANG, delapan huruf dengan kata dasar yang terdengar
maupun terkesan agak kasar, dilengkapi dengan tambahan imbuhan di depannya yang sifatnya menekankan, namun artinya tak selalu buruk.
20/02/14
14/02/14
27/01/14
“Lalu kenapa saya mesti sembunyi-sembunyi bila saya melakukan
sesuatu yang buruk? Bukannya itu tanda kalau saya takut orang tidak mau
menerima saya jika saya punya sisi buruk? Bukannya setiap orang punya sisi buruk?
Lalu jika ada sisi yang satu pasti ada sisi yang lainnya, kan? Sebesar apapun
sisi buruk itu, pasti ada sisi baik, kan?”
26/01/14
Batal Malak (?)
Halo! Back with me, Aria. Gw senang sekali karena setelah sekian lama menunggu *lebaysekalee* gw akhirnya bisa pulang ke Jakarta. Sebetulnya it's too late for me to say this karena gw udah 4 hari di Jakarta hehehee... Hari-hari gw lewatin di Jakarta tanpa sesuatu yang spesial. Sampai hari ini tiba *muahhahaa* *freakparah*.
Pagi ini gw terbangun jam 7 pagi. Karena gw pake kata 'terbangun' jadi gw nggak merencanakan sama sekali gw mau bangun jam segitu. Gw keluar kamar, duduk di ruang tengah, dan melihat-lihat sekitar kayak biasa dengan mata yang masih setengah melek. Karena gw ngerasa kebelet kencing, gw kencing *gakpenting*. Gw ngerasa nggak ada kerjaan, jadi gw memutuskan untuk melakukan kegiatan seperti biasa, ngelanjutin nonton The Mentalist di laptop karena gw baru nonton sampe season 2.
Setelah gw nonton satu episode, gw ngelanjutin ke episode berikutnya. Karena gw nonton di kamar dengan posisi badan terlungkup, gw ketiduran *haha*. Pas gw bangun dan ngeliat jam, ternyata udah jam 11 dan jelas, episode yang gw tonton tadi udah lama selesai.
Gw keluar kamar lagi dan kali ini mata gw seger parah. Tiba-tiba gw keinget kalo gw minjem motor tante gw dan belom gw balikin karena gw ngeliat kuncinya di sebelah dompet gw. Jadi gw memutuskan untuk ngebalikin sekarang juga. Gw mandi, abis itu nunggu adzhan dzuhur, beberapa menit kemudian gw dzuhur *diemdiemalim* *boong* abis itu gw baru berangkat ke rumah tante gw yang jaraknya cuma 10 menit dari rumah kalo naik motor.
Pas udah sampe di rumah tante gw, ternyata orangnya nggak ada. Yang ada cuma kakaknya yang lagi nyetrika. Pas gw tanya dia kemana, ternyata dia lagi ngelayat. Karena gw udah nganggep rumah itu udah kayak rumah sendiri, gw selonjoran aja di sofa dan lanjutin baca novel yang udah mau selesai. Setelah novel itu tamat, gw pamit pulang.
Gw pulang naik Metro Mini *owyeah*. Pas gw ngeliat dompet ternyata duit gw 20 ribuan. Gw ngerasa nggak enak kalo mesti bayar pake ini, takut nggak ada kembaliannya. Pas udah sampe deket rumah, gw bayar dan ternyata ada kembaliannya. tempat gw turun kur-leb sekilo dari rumah, jadi gw masih mesti jalan kaki sampe rumah.
Pas udah setengah jalan, ada 2 laki-laki di motor yang lagi berhenti nyegat gw. Mereka awalnya nanyain orang, tapi nadanya nyolot.
"Woi lu liat cowo lewat sini nggak, bajunya kayak punya lu."
"Nggak tuh. Saya baru lewat sini."
"Nggak usah songong lu! Anak mana lu?! Gw anak sini nih."
"Saya juga anak sini."
Karena doi nggak nanya lagi, gw tinggal aja. Baru 3 langkah gw pergi, temennya udah manggil lagi, katanya belom selesai. Dari situ gw tau kalo dia mau malak. Biar seru gw ladenin aja. Terus dia nanyain gw lagi.
"Takutan amat lu. Jagoan lu?"
"Saya nggak takut bang."
"Jangan macem-macem lu. Gw anak sini nih, gw tinggal telpon temen gw, bisa digebukin sampe mampus lu."
"(Setengah ngedengerin) Oke bang."
"Lu anak mana sih? Kuliah di mana lu?"
"Rumah saya deket. Semarang."
"Hp lu apa sih? Mana hp lu?"
(Gw nggak jawab, senyum aja.)
"Gw megang bb nih, dakota, gw telpon nih temen gw biar mampus lu (Sambil ngeluarin bb dari kantong)."
(Gw bingung. First, dia pamer parah. Second, dia langsung nempelin hp di kuping tanpa mencet satu tombol pun.)
"Beneran nelpon tuh bang?"
"Woi gausah macem-macem lu!!"
(Karena ada seorang laki-laki lewat dan gw pikir itu kesempatan bagus, gw teriak kalo dia mau malak.)
Setelah gw teriak, dia ngibrit ama temennya naik motor. Padahal yang lewat laki-laki lansia. Gw lanjutin jalan dengan perasaan geli "tukang palak siang-siang, jalan lumayan rame, ketauan banget miskinnya."
HAHA!
19/01/14
Cerita Basi!
Pagi ini, aku melihat awan. Sulit untuk dilihat karena sedang musim
penghujan. Bentuknya terlihat menyenangkan. Besar, putih keabuan, terlihat
lembut. Mungkin terkesan sok tahu dengan kata terakhirku, hehe… “Mengapa awan?”
Tak ada yang salah, hanya cerita saja. Sulit melihat awan di saat seperti ini.
Biasanya banyak, tapi ini hanya satu-dua.
Inginnya malam ini aku lihat bintang. Sulit juga karena
ya, lagi-lagi musim hujan. Cahaya mungil yang bertengger di langit itu nyaman
saja dilihat. Seperti penghibur terakhir saat tak ada lagi yang bisa menghibur.
Aku sering melihat bintang… yang ada di namaku, haha… Tapi tak cukup kalau
namanya saja, ingin lihat bendanya.
Senang aku melihat kedua benda langit itu. Walaupun tak
bisa disentuh, mereka nyaman dilihat. Aneh saja, tak seperti melihat wanita.
Saat pandangan tertuju ke wanita cantik, pada akhirnya menyakitkan, tapi saat
mendekat kepada yang tidak menyakitkan, mereka kurang peka.
13/01/14
Sayup-sayup terdengar suara yang mengganggu, namun sulit
untuk ditahan. Karena penasaran, sang hati menuju ke arah datangnya suara
tersebut.
“Hei…
Siapa kamu?”
“Aku
adalah firasat.”
“Apa
maumu? Apa niatmu dengan suara-suara anehmu itu?”
“Aku
hanya ingin beritahu kalau sesuatu akan terjadi.”
Sang hati awalnya curiga dengan firasat, merasa bahwa
hal-hal yang dikatakan firasat itu janggal, bahkan tidak mungkin terwujud.
Namun seiring berjalannya waktu, hati dan firasat menjadi seiya sekata. Mereka
selalu berdampingan dan membentuk suatu kata. Perasaan, itulah namanya.
Kata-kata yang dilontarkan oleh firasat kepada hati membentuk perasaan. Yang
beracun membentuk perasaan buruk, sedangkan yang menghibur membentuk perasaan
menyenangkan.
Setelah lama mereka berdua bercengkrama, sang hati
melihat pola. Pola yang tidak sedikit, yang terbentuk dari titik-titik dengan
warna yang berbeda-beda.Titik-titik itu berkumpul dan membentuk beberapa pola
yang bentuknya beda pula. Ada yang berbentuk lingkaran, persegi, bahkan ada
yang hanya berbentuk garis tidak beraturan. Karena sang hati terkesima dengan
pola-pola tersebut, ia pun menghampiri.
“Pola-pola
yang indah. Siapa kamu?”
“Terima
kasih. Aku adalah logika.”
“Logika?
Apa itu?”
“Kau
perlu mengenalku. Tapi apakah kau akan mengerti?”
“Bagaimana
aku bisa tahu aku mengerti atau tidak jika aku tidak mengenalmu?”
“Karena
aku tidak yakin kau akan mengenalku dengan baik.”
Pada akhirnya, sang logika pun benar. Hati kurang bisa
menerima tanggapan-tanggapannya. Anehnya, ia lebih percaya dan sepadu dengan
firasat yang berbicara bak dukun, mengetahui yang akan terjadi selanjutnya. Namun logika tidak pernah
menyerah. Dia tetap memberi opininya kepada sang hati, tak peduli hati akan
menanggapinya atau tidak.
Hingga tiba saatnya kata-kata dari firasat tidak tepat
sasaran dan perkiraan sang logika pun benar. Sang hati pun kecewa, namun ia
tidak menyalahkan keduanya. Ia justru kecewa akan dirinya sendiri karena
terlalu memihak satu dan kurang memperhatikan yang lainnya.
“Maaf, aku terlalu gegabah. Aku
terlalu memihak. Kalian memiliki karakter yang berbeda, namun hanya satu yang
bisa kuterima. Seharusnya aku tahu, kalian berbeda namun pada akhirnya kalian
tetap harus berjalan bersamaan dan aku harus memperhatikan kedua dari kalian,
tak hanya satu.”
10/01/14
Inilah
Katanya baik, tapi banyak maunya
Katanya cantik, tapi luarnya saja
Katanya tampan, tapi kasar orangnya
Katanya manis, tapi mulutnya menusuk
Orang bilang dia perhatian
Menurutku, dia posesif
Banyak yang bilang kamu tulus
Buat saya, kamu bodoh
Kata orang, kamu orang yang konsisten
Menurutku, kamu keras kepala
Kemarin kamu murung
Besok kamu pasti bahagia
Seperti labirin ya, manusia
Penuh jalur yang harus dikenali
Penuh tembok yang harus dilewati
Ada yang cepat mengenali dan memahaminya
Ada yang lama, malah tidak bisa.
Katanya cantik, tapi luarnya saja
Katanya tampan, tapi kasar orangnya
Katanya manis, tapi mulutnya menusuk
Orang bilang dia perhatian
Menurutku, dia posesif
Banyak yang bilang kamu tulus
Buat saya, kamu bodoh
Kata orang, kamu orang yang konsisten
Menurutku, kamu keras kepala
Kemarin kamu murung
Besok kamu pasti bahagia
Seperti labirin ya, manusia
Penuh jalur yang harus dikenali
Penuh tembok yang harus dilewati
Ada yang cepat mengenali dan memahaminya
Ada yang lama, malah tidak bisa.
08/01/14
Absurd III
Gw mau cerita! Gw mau cerita! #apabanget
Gw masuk kepengurusan teater kampus! Salah, bukan itu.
Kenapa? Ya bosen, jadi gw nulis. Daripada gw melakukan hal aneh-aneh, mending nulis.
Jadi pada hari itu, kira-kira satu minggu setelah gw dikasih tau 'berita buruk' dari Jakarta, gw ikut rapat program kerja teater kampus. Kebetulan karena cuma gw yang berpotensi di bidang musik saat ini, jadi gw ditaruh di bagian Kepelatihan Musik Teaterikal. Nah balik lagi ke cerita. Gw ikut rapat, tapi pada saat itu juga gw ngerasa ada yang beda sama diri gw.
Sebenernya belakangan ini gw seneng sih, karena gw balik lagi ngerasa jadi diri sendiri. Nggak kaku, cuek, selalu semangat kuliah ama belajar apalagi pas UAS gini. Tapi anak-anak teater ada beberapa yang bilang "Aria kok diem aja?" Awalnya gw nggak ngerasa ada yang salah sama gw, tapi lama-lama gw mikir, muncul "Iya juga ya.", "Gw kenapa ya...?" Penuh tanda tanya. Awalnya gw kira gara-gara 'bad news' itu. Yaa emang berpengaruh juga sih ke gw, tapi anak-anak udah ada yang ngerasa gw berubah sebelum gw ke Jakarta.
Nah balik lagi nih ke rapat. Selama rapat itu, gw sendiri juga ngerasa kalo gw nggak kayak biasanya. Gw biasa ceplas-ceplos, main nyeletuk aja kalo lagi kumpul-kumpul gitu, tapi ini beda. Temen-temen juga nanyain pertanyaan 'Aria kok diem aja' itu ke gw. Gw sih senyum aja, abis mau jawab apa. Gw juga jadi cepet jenuh ama apapun yang gw jalanin, termasuk rapat ini. Karena gw emang udah jenuh klimaks sama rapat dan gw juga tau rapat bakal sampe malem, gw izin pulang duluan dengan alasan palsu.
Sampe kost, gw sholat, istirahat, dan karena kebetulan besoknya weekend, gw berencana mau tidur cepet. Ternyata nggak bisa *haha*. Setelah gw pikir-pikir lagi, ternyata gw udah kangen klimaks sama ibunda dan saudaraku yang ada di Jakarta. Makanya, setelah UAS selesai, nggak lama-lama disini, gw langsung balik ke Jakarta. Gw mau menghabiskan waktu sama nyokap, sama saudara-saudara gw.
06/01/14
Realita III
Di kota Metropolitan, ada seorang perempuan. Masih remaja, paras menarik, dan kebetulan dia single. Kegiatannya sehari-hari kuliah, main, pulang, begitu seterusnya.
Ayahnya bekerja di perusahaan perminyakan dan gajinya termasuk tinggi, sedangkan ibunya mengurus rumah tangga. Ia adalah anak tunggal, dan tentunya ayah dan ibunya sangat memanjakannya dengan selalu memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Ia dibelikan mobil, 2 buah handphone dan selalu ditukar dengan yang baru. Hidupnya sangat tercukupi.
PEACE!
Langganan:
Komentar (Atom)
