Sayup-sayup terdengar suara yang mengganggu, namun sulit
untuk ditahan. Karena penasaran, sang hati menuju ke arah datangnya suara
tersebut.
“Hei…
Siapa kamu?”
“Aku
adalah firasat.”
“Apa
maumu? Apa niatmu dengan suara-suara anehmu itu?”
“Aku
hanya ingin beritahu kalau sesuatu akan terjadi.”
Sang hati awalnya curiga dengan firasat, merasa bahwa
hal-hal yang dikatakan firasat itu janggal, bahkan tidak mungkin terwujud.
Namun seiring berjalannya waktu, hati dan firasat menjadi seiya sekata. Mereka
selalu berdampingan dan membentuk suatu kata. Perasaan, itulah namanya.
Kata-kata yang dilontarkan oleh firasat kepada hati membentuk perasaan. Yang
beracun membentuk perasaan buruk, sedangkan yang menghibur membentuk perasaan
menyenangkan.
Setelah lama mereka berdua bercengkrama, sang hati
melihat pola. Pola yang tidak sedikit, yang terbentuk dari titik-titik dengan
warna yang berbeda-beda.Titik-titik itu berkumpul dan membentuk beberapa pola
yang bentuknya beda pula. Ada yang berbentuk lingkaran, persegi, bahkan ada
yang hanya berbentuk garis tidak beraturan. Karena sang hati terkesima dengan
pola-pola tersebut, ia pun menghampiri.
“Pola-pola
yang indah. Siapa kamu?”
“Terima
kasih. Aku adalah logika.”
“Logika?
Apa itu?”
“Kau
perlu mengenalku. Tapi apakah kau akan mengerti?”
“Bagaimana
aku bisa tahu aku mengerti atau tidak jika aku tidak mengenalmu?”
“Karena
aku tidak yakin kau akan mengenalku dengan baik.”
Pada akhirnya, sang logika pun benar. Hati kurang bisa
menerima tanggapan-tanggapannya. Anehnya, ia lebih percaya dan sepadu dengan
firasat yang berbicara bak dukun, mengetahui yang akan terjadi selanjutnya. Namun logika tidak pernah
menyerah. Dia tetap memberi opininya kepada sang hati, tak peduli hati akan
menanggapinya atau tidak.
Hingga tiba saatnya kata-kata dari firasat tidak tepat
sasaran dan perkiraan sang logika pun benar. Sang hati pun kecewa, namun ia
tidak menyalahkan keduanya. Ia justru kecewa akan dirinya sendiri karena
terlalu memihak satu dan kurang memperhatikan yang lainnya.
“Maaf, aku terlalu gegabah. Aku
terlalu memihak. Kalian memiliki karakter yang berbeda, namun hanya satu yang
bisa kuterima. Seharusnya aku tahu, kalian berbeda namun pada akhirnya kalian
tetap harus berjalan bersamaan dan aku harus memperhatikan kedua dari kalian,
tak hanya satu.”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar