13/01/14

Sayup-sayup terdengar suara yang mengganggu, namun sulit untuk ditahan. Karena penasaran, sang hati menuju ke arah datangnya suara tersebut.

                “Hei… Siapa kamu?”
                “Aku adalah firasat.”
                “Apa maumu? Apa niatmu dengan suara-suara anehmu itu?”
                “Aku hanya ingin beritahu kalau sesuatu akan terjadi.”

Sang hati awalnya curiga dengan firasat, merasa bahwa hal-hal yang dikatakan firasat itu janggal, bahkan tidak mungkin terwujud. Namun seiring berjalannya waktu, hati dan firasat menjadi seiya sekata. Mereka selalu berdampingan dan membentuk suatu kata. Perasaan, itulah namanya. Kata-kata yang dilontarkan oleh firasat kepada hati membentuk perasaan. Yang beracun membentuk perasaan buruk, sedangkan yang menghibur membentuk perasaan menyenangkan.

Setelah lama mereka berdua bercengkrama, sang hati melihat pola. Pola yang tidak sedikit, yang terbentuk dari titik-titik dengan warna yang berbeda-beda.Titik-titik itu berkumpul dan membentuk beberapa pola yang bentuknya beda pula. Ada yang berbentuk lingkaran, persegi, bahkan ada yang hanya berbentuk garis tidak beraturan. Karena sang hati terkesima dengan pola-pola tersebut, ia pun menghampiri.

                “Pola-pola yang indah. Siapa kamu?”
                “Terima kasih. Aku adalah logika.”
                “Logika? Apa itu?”
                “Kau perlu mengenalku. Tapi apakah kau akan mengerti?”
                “Bagaimana aku bisa tahu aku mengerti atau tidak jika aku tidak mengenalmu?”
                “Karena aku tidak yakin kau akan mengenalku dengan baik.”

Pada akhirnya, sang logika pun benar. Hati kurang bisa menerima tanggapan-tanggapannya. Anehnya, ia lebih percaya dan sepadu dengan firasat yang berbicara bak dukun, mengetahui yang akan terjadi  selanjutnya. Namun logika tidak pernah menyerah. Dia tetap memberi opininya kepada sang hati, tak peduli hati akan menanggapinya atau tidak.

Hingga tiba saatnya kata-kata dari firasat tidak tepat sasaran dan perkiraan sang logika pun benar. Sang hati pun kecewa, namun ia tidak menyalahkan keduanya. Ia justru kecewa akan dirinya sendiri karena terlalu memihak satu dan kurang memperhatikan yang lainnya.

“Maaf, aku terlalu gegabah. Aku terlalu memihak. Kalian memiliki karakter yang berbeda, namun hanya satu yang bisa kuterima. Seharusnya aku tahu, kalian berbeda namun pada akhirnya kalian tetap harus berjalan bersamaan dan aku harus memperhatikan kedua dari kalian, tak hanya satu.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar