28/02/14

Setengah sebelas malam, kereta yang kunaiki masih belum tiba di tujuan. Yang bisa kulakukan selama di kereta hanya membaca, mendengarkan musik, dan berdiri sejenak dari kursi yang kududuki karena terasa pegal lalu tak lama kemudian duduk lagi. Buku yang kubaca bercerita tentang dunia politik yang dijadikan bahan humor tapi tetap bernilai intrinsik, yang ditulis oleh salah satu seniman ternama dalam negeri.

Kereta yang menurut jadwal harusnya tiba jam sebelas malam, terlambat satu jam. Aku, bersama temanku yang juga satu kereta denganku menyegat taksi untuk menuju ke kost masing-masing. Ya, kami kuliah di luar kota, di salah satu kota di tengah-tengah Jawa. Kami satu universitas, berbeda fakultasnya. Kami sama-sama meneliti kesehatan, temanku berada di dunia kesehatan manusia, sedangkan diriku menelaah kesehatan keuangan.

Sesampainya di kost, aku melihat sekeliling, meraba meja dan rak yang ternyata sedikit berdebu. Tanpa menunda lagi, kuletakkan tasku dan langsung membersihkan kamar. Aku tak bisa memaksakan rasa nyaman. Jika kamar kotor, maka aku tak bisa langsung tidur, sekalipun aku berada dalam kondisi klimaks mengantuk.

Setelah membersihkan kamar, aku sholat lalu duduk terdiam. Aku teringat oleh aransemen musik yang sudah kubuat untuk pertunjukan beberapa hari yang akan datang bersama teman-teman teater. Aku mengaransemen musik menggunakan imajinasi dan naluri, tanpa memegang satu alat musik pun. Hal seperti itu biasa kulakukan di setiap kegiatan yang aku lakukan. Membaca, mandi, melamun, mengobrol dengan orang lain, bahkan saat aku mengikuti kuliah di dalam kelas.

Hmm… satu lagi, temanku memiliki dan dimiliki, sedangkan aku hanya sedang tidak memiliki. Perasaan suka itu ada, tapi belum berhasrat saja, belum ingin. Aku hanya sedang ingin perbanyak bergaul agar punya banyak koneksi. Siapapun pasti suka punya banyak teman. Kata ‘single’, ‘sendiri’, ‘jomblo’ selalu dijadikan ejekan bagi orang sepertiku. Aku tak heran, memang kenyataannya begitu, jadi aku menganggap orang itu menyatakan, mengungkapkan kenyataan, bukan mengejek.

“Nggak nyari cewe?”
“Sendirian aja?”
“Kemana-mana sendiri, nggak bosan?”
Pertanyaan yang kadang-kadang terlontar ke arahku. Biasa hanya kujawab seadanya, atau hanya kubalas dengan senyum geli.

MEMBUJANG, delapan huruf dengan kata dasar yang terdengar maupun terkesan agak kasar, dilengkapi dengan tambahan imbuhan di depannya yang sifatnya menekankan, namun artinya tak selalu buruk.



20/02/14

"Iri berubah menjadi prasangka buruk, prasangka buruk bisa menjadi fitnah, fitnah bisa menjadi perselisihan. Terkutuklah kamu yang tak mengendalikan iri. Berbahagialah kamu jika orang-orang iri padamu. Tak ada waktu untuk iri. Yang ada cuma menjadi lebih baik lagi."

14/02/14

"Saya memang kecewa, tapi saya tidak menyesal. Kenapa? Karena saya dilahirkan. Saya bisa melihat dan merasakan semuanya. Ya, semuanya termasuk yang sebenarnya tidak nyaman dirasakan, tidak nikmat dilihat."