Setengah sebelas malam, kereta yang kunaiki masih belum tiba
di tujuan. Yang bisa kulakukan selama di kereta hanya membaca, mendengarkan musik,
dan berdiri sejenak dari kursi yang kududuki karena terasa pegal lalu tak lama
kemudian duduk lagi. Buku yang kubaca bercerita tentang dunia politik yang dijadikan
bahan humor tapi tetap bernilai intrinsik, yang ditulis oleh salah satu seniman
ternama dalam negeri.
Kereta yang menurut jadwal harusnya tiba jam sebelas malam,
terlambat satu jam. Aku, bersama temanku yang juga satu kereta denganku
menyegat taksi untuk menuju ke kost masing-masing. Ya, kami kuliah di luar
kota, di salah satu kota di tengah-tengah Jawa. Kami satu universitas, berbeda
fakultasnya. Kami sama-sama meneliti kesehatan, temanku berada di dunia
kesehatan manusia, sedangkan diriku menelaah kesehatan keuangan.
Sesampainya di kost, aku melihat sekeliling, meraba meja dan
rak yang ternyata sedikit berdebu. Tanpa menunda lagi, kuletakkan tasku dan
langsung membersihkan kamar. Aku tak bisa memaksakan rasa nyaman. Jika kamar
kotor, maka aku tak bisa langsung tidur, sekalipun aku berada dalam kondisi
klimaks mengantuk.
Setelah membersihkan kamar, aku sholat lalu duduk terdiam.
Aku teringat oleh aransemen musik yang sudah kubuat untuk pertunjukan beberapa
hari yang akan datang bersama teman-teman teater. Aku mengaransemen musik menggunakan
imajinasi dan naluri, tanpa memegang satu alat musik pun. Hal seperti itu biasa
kulakukan di setiap kegiatan yang aku lakukan. Membaca, mandi, melamun,
mengobrol dengan orang lain, bahkan saat aku mengikuti kuliah di dalam kelas.
Hmm… satu lagi, temanku memiliki dan dimiliki, sedangkan aku
hanya sedang tidak memiliki. Perasaan suka itu ada, tapi belum berhasrat saja,
belum ingin. Aku hanya sedang ingin perbanyak bergaul agar punya banyak
koneksi. Siapapun pasti suka punya banyak teman. Kata ‘single’, ‘sendiri’, ‘jomblo’
selalu dijadikan ejekan bagi orang sepertiku. Aku tak heran, memang
kenyataannya begitu, jadi aku menganggap orang itu menyatakan, mengungkapkan
kenyataan, bukan mengejek.
“Nggak nyari cewe?”
“Sendirian aja?”
“Kemana-mana sendiri, nggak bosan?”
Pertanyaan yang kadang-kadang terlontar
ke arahku. Biasa hanya kujawab seadanya, atau hanya kubalas dengan senyum geli.
MEMBUJANG, delapan huruf dengan kata dasar yang terdengar
maupun terkesan agak kasar, dilengkapi dengan tambahan imbuhan di depannya yang sifatnya menekankan, namun artinya tak selalu buruk.